Pahlawan Alam
Mereka memang selalu bersama. Enam
tahun berjalan bagai air yang terus mengalir, tak peduli apapun halangannya air
tetap terus mengalir. Sejak SMP mereka sudah bersama, diawali dengan pertemuan
sebuah kegiatan bakti sosial yang diselenggarakan pada saat itu. Mereka mulai mengenal,
dan mulai memahami satu sama lain. Masa SMP berganti menjadi SMA, mereka masih
bersama di satu sekolah yang sama. Butuh perjuangan berat bagi mereka agar
mereka bisa satu sekolah lagi. Mereka memiliki kesenangan yang serupa. Mereka
rutin mengadakan kegiatan sosial dimanapun mereka mau dan dimanapun mereka
dibutuhkan. Lima sahabat itu terdiri dari dua perempuan cantik dan tiga
laki-laki tampan. Kegiatan rutin mereka di sekolah adalah membantu para petugas
sekolah membersehkan sekolah mereka, dan terkadang mereka juga mengumpulkan
sampah-sampah itu untuk dijual, dan uang hasil penjualan sampah-sampah organik
dan anorganik yang sebelumnya sudah mereka pilah itu cukup bermanfaat untuk
membantu kegiatan rutin mereka−bakti sosial. Uang, uang, uang. Mereka rela
membersihkan sekolah mereka hanya untuk mendapatkan sampah yang bisa mereka
jual menjadi uang. Mungkin jika mereka tak terlalu butuh dengan uang, mereka
tak akan berbuat sejauh itu.
Mereka
terlalu sayang pada Negeri ini, namun tak untuk alat pemerintahannya. Mereka
hanya ingin membantu anak bangsa yang kurang mampu. Mereka hanya ingin
memberikan kesempatan kepada anak-anak jalanan untuk mendapatkan hak mereka
kembali.
“Kaka
apa benar kata ada bunga yang warnanya hitam?” Tanya Atang, satu dari sekian
banyak anak jalanan yang Zaki kenal.
“Soal
itu Kak Zaki kurang tau Tang, aaaahh bagaimana jika besok Kakak akan kesini
lagi sambil membawa laptop dan modem? Dari situ kamu akan mendapat sebuah
informasi tentang apapun yang kamu mau! Gimana?” Tanya Zaki sedikit bersemangat
karena selama ia memiliki laptop, belum pernah sama sekali ia gunakan untuk
mencari pengetahuan umum. Karena selama ini ia hanya menghabiskan pulsa
modemnya untuk membuka berbagai jenis sosial media dan sedikit untuk mencari
tugas dari sekolahnya.
“Tapi
kak jangan di sini,” keluh Atang ketika melihat sekelilingnya. Tepatnya dibawah
kolong jembatan layang Pasupati. Kemudian Atang mendekatkan bibirnya ke telinga
Zaki “bahaya Kak, takut laptopnya diambil.” Bisiknya.
“Ohhhh,
ahaha kamu ini. Siap boss! Ehhh, tapi dimana dong?” Tanya Zaki bingung.
“Ngobrol
berdua aja yah kalian, ga bagi-bagi nih ceritanya?” Tanya Sarah, salah satu
dari sahabat Zaki.
“Ssssstttt
ya Kak Zaki jangan bilang-bilang!” Ucap Atang pelan, yang membuat Sarah semakin
menajamkan praduganya.
“Ehhh
kamu tuh ya, mungkin Kak Sarah dan yang lain bisa bantu kita.” Ucap Zaki.
“Ngomongin
apa sih kalian?” Tanya Dika.
“Ini
loh Dik, Sar, si Atang penasaran sama yang namanya bunga tapi kok warnanya
item.” Jawab Zaki singkat.
“Ohhhh,
mawar hitam? Atau angrek hitam?” Tanya Dika kepada Atang.
“Uuuuuh
itu loh Kak anggrek hitam itu!” jawab Atang berapi.
“Ahhhhh,
di vila Kakak banyak loh yang begituan, mau liat ga?” Jawab Dika menyakinkan.
“Emang
vila lu dimana Dik?” Tanya Zaki.
“Di
Kalimantan sih, jauh. Itu punya bapa. Dan emang jarang ada yang nempatin disana
Zak. Kesana yuk?” jawab Dika yang membuat Zaki menjadi yakin terhadapnya.
“Abis
UN ya? Bener ga?” Tanya Sarah. Kansa dan Aldo yang baru bergabung pun langsung
setuju dengan argumen Sarah.
Atang
terdiam, mimik mukanya melukisnya kebingungan dan Zaki bisa membaca itu.
“Kenapa kamu Tang?” Tanya Zaki.
“Ahh
emmm, Atang ga ngerti apa yang sedang kakak-kakak bicarakan. UN itu apa Kak? Kenapa
ke Kalimantanya harus seudah UN?” Atang masih memutar otaknya.
“Ohhh,
UN itu semacam ujian lagi, tapi diselenggarakannya secara serentak
se-Indonesia.” Jawab Zaki efektif.
“Ehhh
jangan ngelantur kemana-mana dulu, besok jadi ga?” Tanya Sarah mengembalikan arah
pembicaraan yang mulai tersesat.
“Bolehh,
gini aja deh, besok kita janjian di BTC. Dari sini deket kan? Tang, nanti Kakak
jemput disini jam satu siang dan kalian yang mau ikut kumpul di BTC jam
setengah dua. Setuju?” simpul Zaki yang diikuti dengan persetujuan dari keempat
sahabatnya disertai Atang.
***
Pukul
satu siang Zaki sudah bersama Atang. Meskipun Atang sedikit malu karena baru
pertama kalinya ia masuk ke dalam sebuah bangunan besar nan tinggi yang dihiasi
dengan hiruk pikuk makhluk konsumtif dan makhluk sosial. Selama ini Atang hanya
bisa memandangi dari luar saja. Dan hari ini Atang akan masuk ke dalam bangunan
megah itu. Beberapa kali Atang ingin mengurungkan niatnya itu, tapi karena Zaki
terus meyakinkan Atang untuk pergi ke bangunan besar nan tinggi itu ia menjadi
yakin.
Sesampainya
disana Atang kebingungan melihat tangga elevator yang bisa bergerak maju.
Sekitar tiga elevator berhasil dilewati Atang. Dan mereka sampai ke bagian
teratas. Food court.
“Atang
mau makan ga?” Tanya Zaki yang berdiri di samping Atang.
“Kalo
boleh sih mending Atang ga usah makan aja Kak, dan kalo boleh Atang pingin
jatah makan Atang buat adek Atang aja.” Jawab Atang sedikit ragu.
“Ga
usah malu-malu juga lah Tang, kita kan udah kenal deket. Ahhh, tuh mereka!”
seru Zaki sambil berjalan menuntung Atang menghampiri keempat sahabatnya yang
sedari tadi sudah berkumpul. Zaki menarik sebuah kursi untuk tempat duduk
Atang. “Tang, kamu duduk disini dan tunggu dulu ya, Kakak mau beli makanan
dulu.” Ujar Zaki yang disambut dengan anggukan kepala Atang. “Oh iya, untuk
cari informasi tentang bunga hitam itu kamu bisa minta tolong Kak Sarah sama
Kak Kansa.” Tambahnya, dan bayangan Zaki pun menghilang dibalik kerumunan orang
yang sedang sibuk mengurusi perutnya yang lapar.
Dengan
senang hati Sarah dan Kansa mengajari bagaimana cara menggunakan alat maha
canggih nan maha pintar itu kepada Atang. Atang mulai mengenal apa itu yang
namanya desktop, toolbar, software, cursor, dan masih banyak lagi. Sedikit
demi sedikir Atang belajar membaca bahasa inggris di layar laptop itu. Tiga
puluh menit berlalu. Setibanya Zaki, ia sudah melihat Atang yang mulai terfokus
pada dunia maya. Matanya terpancar rasa kagum atas apa yang ia lihat di
hadapannya. Zaki tersenyum bangga. Selagi Atang asyik memainkan dan mencari apa
yang ia ingin ketahui, kelima sahabat itu kembali merencanakan petualangan
mereka ke vila Dika. Dan mereka sepakat, hari terakhir mereka UN adalah hari
dimana mereka akan berangkat ke vila Dika. Semua barang dan peralatan yang akan
dibawa sudah disepakati mereka untuk disimpan di rumah Dika dari jauh-jauh
hari. Sekarang hanya tinggal menunggu hari. H min 14.
Atang
mulai memperlihatkan wajah puasnya. Ilmunya bertambah. Atang mematikan laptop
itu, ia menatap Sarah yang sedang membersihkan kacamatanya dan Kansa yang
kembali meneguk jusnya.
“Kak
makasih ya, ternyata dari yang namanya google
itu kita bisa ngedapetin apapun yang kita mau.” Ucap Atang.
“Yahhh,
itulah yang namanya kecanggihan teknologi Tang. Jadi apa yang kamu dapet?”
Tanya Sarah.
“Atang
dapet segala informasi tentang bunga itu Kak, dinamakan anggrek hitam karena
bunga ini punya lidah berwarna hitam dengan sedikit garis-garis hijau dan
berbulu, lalu bunga ini biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni. Pas banget
yah Kak, sekarang kan bulan April.”
“Ehh
Dik, gimana kalo Atang kita bawa ke vila lo aja? Disana pasti ada anggrek hitam
kan?” celetuk Sarah tajam.
“Yah
ela, emang dari awal rencananya juga udah kaya gitu Sar. Tuh kan katanya elu
dapet peringkat satu dikelas tapi otaknya tetep aja loading.” Ucap Aldo kesal.
Empat
belas hari berlalu. Selangkah lagi agar mereka bisa melepas semua penatnya dan
kembali menghirup udara Bumi yang masih suci, tak terkontaminasi dengan zat-zat
kimia berbahaya dan polusi-polusi dari kendaraan bermotor yang sudah menjadi
makanan sehari-hari warga kota. Paru-paru Bumi telah menunggu mereka. Dan
mereka telah menanti-nanti sambutan hangat dari hijaunya dedaunan, dari
rimbunnya pepohonan, dan dari tenangnya alam. Alam ini sungguh berarti bagi
manusia, tak ada manusia yang bisa hidup tanpa alam. Alam itu bagaikan diri
manusi itu sendiri, jika manusia itu menjaga alam makan manusia itu sama saja
dengan menjaga dirinya sehingga tak ada penyakit yang bisa ia tularkan kepada
manusia lain yang menyebabkan manusia itu sakit. Namun sebaliknya, apabila
manusia itu merusak alam, maka manusia itu merusak dirinya sendiri dan bahkan
merusak diri orang lain. Alam itu tak bisu, seakan-akan ia selalu mengingatkan
kita dikala kita luput dari apa yang kita telah perbuat kepadanya, dengan
bencana alam.
Kali
ini kelima sahabat itu−bersama Atang tentunya−akan lebih mengenal lebih jauh
dengan sahabatnya yang bernama alam. Dan bagaimana karaktreristik dari
sahabatnya itu yang telah lama berbaik hati kepada mereka tanpa mengetahui
bagaimana sakitnya alam atas perbuatan kaum pribumi.
***
Keenam
anak manusia itu pergi dari pulau Jawa sore itu juga. Dengan berbekal
pengalaman Dika yang sudah pernah pergi ke vilanya itu dengan kapal Ferri,
mereka pergi ke sana dengan percaya diri.
“Tang
kenapa diem aja?” Tanya Aldo.
“Kak
Aldo kok Atang kaya muter-muter ga jelas gitu ya? Padahal Atang kan diem ga
puter-puteran.” Ucap Atang lemas.
“Ohhhh,
kamu tuh mabok Tang, nih minum ini!” Aldo memberikan satu tablet obat anti mabuk
jalan yang sudah tersedia di saku celana PDLnya. Aldo membantu Atang agar Atang
bisa menelan obat itu. Saking sulitnya Atang untuk menelan obat itu dengan
bantuan air, Atang yang tak pernah berpikir rasa obat yang ada di dalam
mulutnya itu pahit mengunyah obat itu tanpa berpikir panjang lagi. Beberapa
detik kemudian, “BWOOOOOO! OOOO…OOOO…OOOOKKK!” Atang mengeluarkan apa yang ada
dalam lambungnya. Atang muntah tepat di depan Aldo. Aldo hanya bisa pasrah
dengan keadaan. Keempat sahabatnya yang masih anteng memandangi pemandangan
laut mulai tertarik oleh teriakan muntah Atang. Sarah dan Kansa berlari ke arah
Atang dan Aldo.
“Atang
ga apa apa?” Tanya Sarah cemas.
“Ah
elu, udah tau Atang lagi muntah malah nanya Atang ga kenapa-napa. Ga ngerti deh
gue. Sekarang lu dan Kansa obatin Atang dan gue mau ganti celana dulu oke,”
nafasnya terputus dan Aldo kembali menghirup udara melalui mulutnya, lalu ia
melanjutkan, “dan lo berdua yang dari tadi nonton doang, bantuin bersihin bekas
muntahnya Atang.”
Secapat
kecepatan cahaya Aldo berlari mencari toilet terdekat untuk membersihkan
dirinya. Sarah dan Kansa sibuk membaluri tubuh Atang dengan segala ramuan orang
Sunda seperti ramuan bawang merah yang dicampur dengan minyak telon atau minyak
kelapa dan sebagainya. Sementara Dika dan Zaki sibuk membersihkan lantai-lantai
kapal yang sejak tadi menggenang bekas muntah Atang dengan lap pel seadanya
mereka berusaha.
Keesokan
harinya disaat matahari pagi pulau Kalimantan memberikan sebersit cahaya
hangatnya.
“Kak
maafin Atang ya.” Ucap Atrang kepada lima sahabat itu.
“Ga
masalah Atang, itu menjadi kenang-kenangan kita disini.” Jawab Aldo.
“Ehhh,
tuh pelabuhannya. Siap-siap cuy!” teriak Dika yang tak tidur semalam. Mereka
pun sibuk mencari dan merapikan peralatan mereka. Penjaga vila Dika sudah
menunggu di pelabuhan. Mereka pergi ke vila dengan mobil gunung putih kumel.
Letak vila Dika tak harus menyebrang sungai dan memasuki hutan. Namun sekitar
empat kilo meter dari sana kita bisa sampai di a part of face’s Kalimantan forest.
Dua
jam perjalanan dari pelabuhan, mereka sudah tiba di vila itu. Mereka
membereskan barang-barang mereka. Atang yang masih sedikit shok dengan perjalanan jauh ini lebih memilih untuk beristirahat
sejenak. Sarah dan Kansa sudah asyik dengan kegiatannya melihat album foto Dika
yang tersimpan rapi di rak buku super besar itu. Sementara Aldi, Dika, dan Zaki
sedang berusaha merakit perangkat computer Dika yang sudah lama berserakan.
Mulai dari motherboard, RAM,
kabel-kabel, VGA, soundcard, dan
masih banyak lagi. Aldo si jenius IT tak lupa membawa berbagai macan CD installan
perangkat lunak.
Vila
itu dua tingkat, dikelilingi oleh pohon kasturi. Dibagian belakang vila itu
masih ada sehamparan kebun nan luas yang di isi oleh berbagai macam
keanekaragaman hayati. Begitu siapapun masuk ke dalam vila itu, mereka akan
langsung mendapatkan pesona ala perpustakaan hutan. Dimulai dari rak-rak buku,
kursi, meja sampai hiasan-hiasan kecil yang ada disana terbuat dari batang
pohon yang sudah dilas rapi nan mengkilat. Perpustakaan hutan ini sebenarnya bukan
perpustakaan tapi ini adalah ruang tamu. Masuk ke ruangan berikutnya, tepatnya
di balik rak buku super besar itu kita langsung berada di sebuah ruangan
keluarga yang besar. Lantai pertama hanya di isi dengan ruang tamu, ruang
keluarga, dapur, dan kamar mandi. Untuk ruangan di lantai dua, hampir semua isi
ruangan itu adalah kamar-kamar yang diberi sekat tiap kamarnya dengan
menggunakan kayu-kayu alami yang sama seperti di lantai satu.
Atang
keluar dari kamar tempat ia beristirahat dan menemukan sosok tiga anak manusia
yang sedang sibuk merakit sebuah benda berbentuk bangun ruang balok berwarna
hitam yang isinya hanya perangkat-perangkat asing yang sama sekali tak
dimengerti Atang.
“Kak
itu apa?” Tanya Atang kepada Dika.
“Ini
komputer Tang, kalo komputer ini udah bisa jalan kita internetan lagi yah kaya
kemaren?” jawab Dika.
“Emang
Kak Zaki gak bawa laptop ya?” Tanya Atang singkat.
“Ohh
enggak, soalnya berat Tang. Tunggu ya,” jawab Dika sambil membersihkan sebuah chip berbentuk persegi panjang di
tangannya.
“Atang
ke luar dulu ya.” Jawab Atang singkat kemudian dibalas dengan seulas senyum
milik Dika.
***
Di kebun belakang vila.
“Ampun
deh Sa, gue lupa ga bawa kacamata!” teriak Sarah panik.
“Oh
iya yah? Pantes aja dari tadi perasaan ada yang beda sama kamu Sar. Betapa
bodohnya dirimu, gak salah deh Aldo selalu cerita kalo kamu tuh pinter cuma di
sekolah aja, hehehe.” Jawab Kansa seraya menatap teman lawan bicaranya.
Kemudian Atang datang.
“Ehhh
Tang, kebetulan ada kamu, nih yang namanya anggrek hitam.” Ucap Sarah
sambil menadahkan pot kecil bertanamkan
anggrek hitam itu kepada Atang.
“Ohhhh
iya yah? Bagus ya Kak!” jawab Atang terkagum-kagum.
“Eh
Tang, kamu mau disini? Kakak berdua mau mandi dulu nih, dari tadi udah diem
disini. Jangan ke vila setelah magrib ya!” pesan Kansa sembari meninggalkan
Atang yang masih ayik menatapi bunga yang ia cari.
Setelah
puas mengobati penasarannya akan anggrek hitam, Atang berjalan ke belakang vila
dan memasuki sebuah rumah khusus untuk penangkaran. Di sana ia melihat
macan-macan kecil didalam sangkar besi yang sedang tertidur, jumlahnya tak
lebih dari setengah lusin. Dan disana juga Atang melihat batang-batang pohon
mengkilat yang sama seperti di dalam vila. Dan masih banyak tumbuhan lain
disana, faunanya pun bukan macan mungil itu saja. Atang melihat sebuh sangkar
besi besar yang tak ada penghuninya. Tapi sedikit-sedikit ia bisa membaca
tulisan yang menempel di pintu sangkar itu. ‘Pongo abelii’. Atang tak mengerti apa maksud dari tulisan itu. Lalu
Atang kembali ke vila karena matahari telah mengeluarkan sinar lembayungnya.
***
Perangkat
bangun ruang itu sudah bisa menyala. Setelah makan malam, Atang langsung
menyambar perangkat itu. Menurut Kak Aldo si ahli IT, perangkat itu sudah terkoneksi
dengan internet. Atang membuka software
untuk membantu ia tersambung ke internet. Dengan lihai segera ia menuliskan www.google.co.id pada persegi panjang yang terletak
di paling atas dan mengklik tombol ‘Go’.
Setelah ia berhasil mengakses google
ia menuliskan Pongo abelii pada
persegi panjang yang terletak di bawah tulisan google.
Google sudah memberikan opsi-opsi web
yang menyajikan berbagai informasi mengenai Pongo
abelii, satu persatu web ia buka di tab baru. Lalu Atang membuka bagian
gambar di tab yang sedang ia gunakan. Atang mendapati gambar hewan berbulu
coklat hampir orange, bagian kepalanya ada yang tidak ditumbuhi rambut. Ia
melihat sebagian hewan itu ada yang sedang menggantung di pohon. Kera, pikirnya.
Di sangkar besi itu akan ada hewan seperti ini, pikirnya lagi. Dibukalah tab
sebelahnya yang membuka sebuah blog bernama ‘Cintai Orangutan’. Dengan sedikit
tergagap Atang membaca informasi yang ada pada web tersebut.
…orangutan yang memiliki nama latin Pongo abelii dan Pongo
pymaeus adalah kera besar dengan
tangan yang panjang dan bulu berwarna coklat. Sering ditemukan di hutan hujan
Kalimantan dan Sumatra. Orangutan menghabiskan waktunya di pohon, tidur di
sarang yang dibuat dari dahan-dahan yang dibentuk menjadi tempat tidur.
Orangutan merupakan hewan langka yang terancam punah dikarenakan kebakaran
hutan, pemburuan liar, dan penambangan batu bara. Para petani kelapa sawit
memburunya karena dianggap sebagai hama sawit… Pikiran Atang membuyar,
kenampakan yang telah ia lihat tadi sore adalah sebuah sangkar besi untuk
spesies bernama Pongo abelii yang
bisa disebut juga sebagai orangutan. Orangutan hidup di pohon dan ia membuat
sangkar sendiri, tapi yang kemarin ia temukan adalah sangkar besi yang akan
ditempati oleh orangutan. Hewan ini termasuk hewan yang dilindungi, tapi Atang
menyimpulkan jika orangutan merupakan hewan yang dilindungi mengapa di
pekarangan belakang vila Kak Dika ada sangkar besi khusus untuk orangutan? Otak
Atang semakin berputar dan berusaha menyimpulkan semua kenampakan yang telah ia
lihat.
“Hei
Atang! Lagi serius ngapain ni?” Tanya Sarah.
“Stttt!”
pekiknya, lalu Atang melanjutkan, “Kak Sarah, ini gambar orangutan kan?” Tanya
Atang sedikit berbisik.
Sarah
mengarahkan pandangannya ke sebuah monitor, lalu ia mengangguk kecil.
Sepertinya Atang sudah bisa membaca pikiran Sarah, Atang pun melanjutkan
pembicaraannya. “Kak, dibelakang vila ini ada sebuah kandang besi besar,” Atang
menarik nafasnya diikuti Sarah yang juga ikut menarik nafas, “lalu, dibagian
pintu kandang itu ada tulisan Pongo
abelii, setelah saya telusuri ternyata itu adalah nama latin dari
orangutan.” Air muka Atang berubah menjadi tanda Tanya besar.
“Jadi
maksud kamu, kamu curiga di vila ini bakal melihara orangutan? Selain kandang
orangutan kamu liat apa lagi di belakang?” Tanya Sarah yang mulai terbawa
suasana curiga.
“Ada
anak macan Kak, berapa biji ya? Atang lupa Kak.”
“Kita
kesana aja nanti malem ya? Nanti Kakak kasih tau Zaki oke? Sekarang kamu minjem
kamera ke Kak Aldo, alesannya mau foto anggrek hitam aja oke?” Atang mengangguk
kecil, dan Sarah pergi untuk memberitahu Zaki.
***
Jam sudah menunjukan pukul
Sembilan malam. Sarah dan Zaki sudah bersiap,
Atang sudah memegang kamera digital milik Aldo. Mereka bertiga pergi ke belakang
sementara Dika, Kansa, dan Aldo sedang asyik menonton tayangan TV swasta yang
tak mungkin mereka lewatkan. Mereka
bertiga memasuki rumah penangkaran itu. Zaki tercekat, selama ini ia tak menyangkan
akan ada koleksi flora dan fauna yang dilindiungi di belakang vila temannya
itu. Otak Zaki terus berputar. Ia mendekati sangkar besi untuk orangutan. Dan
membaca kalimat yang ditulis dengan bahasa inggris dibawah tulisan Pongo abelii. Sarah menyadari batang
pohon yang ada di dalam vila Dika mirip sekali dengan batang pohon yang sedang
ia pengang. Kemudian Zaki dapat menyimpulkan bahwa semua flora dan fauna yang
ada disini akan dijual ke luar negeri atas wacana yang baru saja ia baca.
Siapapun orang yang telah melakukan semua ini sama saja orang itu sudah merusak
alam. Zaki semakin memanas, kemudian ia memutuskan untuk pergi ke dalam hutan
bersama Sarah dan Atang.
Empat kilo meter sudah mereka
berjalan, sekarang mereka mendapati hutan hujan Kalimantan. Mereka meninggalkan
jejak berupa tali rafia yang dibiarkan mengulur di sepanjang jalan yang telah
mereka lewati. Mereka semakin dalam menerobos hutan itu. Remang-remang Sarah
melihat sebuah tempat kosong di balik rimbunnya pohon hutan Kalimantan. Sarah
mengajak Zaki dan Atang kesana. Sekitar dua puluh langkah dari tempat mereka
berpijak, mereka sudah mendapati tanah hutan Kalimantan yang rata. Pohon-pohon
disana menghilang, hanya ada beberapa gergaji besar yang terhampar dimana-mana.
Refleks Atang mengambil gambar hutan itu. Apa yang akan terjadi bila seluruh
sisi hutan Kalimantan gundul seperti apa yang sedang mereka lihat sekarang?
Akankah hewan-hewan yang tak bersalah itu mendapati habitatnya kembali? Hutan
itu adalah paru-paru Bumi, hutan juga yang memberikan cadangan oksigen bagi
Bumi ini. Hutan adalah penetral segala keadaan di Bumi. Apabila hutan tak ada,
apa yang akan terjadi dengan Bumi ini? Lapizan ozon sudah menipis, polusi sudah
bertebaran dimana-mana, limbah-limbah berserakan dimana-mana, sampah plastik
semakin menumpuk, dan parahnya manusia semakin tak sadar akan perubahan terjadi.
Alam pun semakin menjerit tak karuan, sayangnya hanya sekitar lima persen dari anak
manusia yang bisa mendengar jeritan alam itu. Air mata Sarah tumpah, meskipun
penglihatannya remang-remang, ia masih bisa merasakan kondisi hutan ini. Zaki
masih memendam amarahnya, rasanya ingin sekali ia mengeluarkan semua amarahnya
itu. Tapi ia bingung, siapa yang harus ia jadikan korban untuk meluapkan
amarahnya itu? Dan Atang masih memutar otaknya, sedikit mengerti apa yang
sebenarnya terjadi.
Terdengar suara bising dari dalam
hutan. Meneriakan nama dari ketiga anak manusia yang sekarang ada di
tengah-tengan hutan Kalimantan yang bolong. Suara itu semakin mendekat,
mendekat, mendekat. Terus mendekat hingga suara itu berhenti dan sampailah
ketiga remaja Indonesia ditengah hutan yang bolong. Dika masih tak percaya
dengan apa yang saat ini ia lihat. Zaki menatap Dika yang baru saja datang
dengan tatapan tajam. Kansa menghampiri Sarah yang masih terisak. Dan Atang
menghampiri Aldo untuk menunjukan gambar yang sudah ia ambil. Keenam anak
manusia itu saling bertatapan heran. Tak
ada satu pun dari mereka yang berani untuk membuka suara. Akhirnya mereka
kembali ke vila.
“Ada
polisi hutan atau warga lain selain kita disini gak?” Tanya Zaki setengah
berteriak kepada Dika.
“Gue
gatau Ki, itu semua kerjaan bapa gue.” Dika membela diri.
“Dan
bahkan, ornamen-ornamen di dalam ruang tamu ini pun bapa lo dapet secara
illegal Dik! Lo nyadar ga? Lo kasian ga sama Bumi?” amarah Zaki semakin
menjadi.
“Udah
Ki udah, mungkin Dika gak tau apa yang udah bapanya perbuat,” lerai Kansa,
“Dik, lo tau sekarang bapa lo dimana?” lanjutnya.
“Tau,
bapa ada di kota yang sebelumnya kita lewatin.” Jawab Dika.
“Sekarang
kita kesana, dan setelah hanphone
kita bisa dapet sinyal kita hubungi polisi terdekat.” Saran Sarah.
“Kesananya
gimana?” Tanya Atang, “jalan?” lanjutnya.
“Gak
lah, Dika pasti punya kunci serep mobilnya, bener ga Dik?” Tanya Aldo seraya
Dika menganggukan kepalanya. “Gue bisa bawa mobil. Jangan buang waktu, GO!”
Keenam
anak manusia itu pergi ke kota sebelumnya yang kemarin telah mereka lewati
dengan pentunujuk arah seadanya−Dika. Hanphone
mereka berhasil mendapatkan sinyal. Mereka sampai di sebuah rumah besar yang
terletak di perumahan elit. Rumah ayah Dika. Dan mereka sudah berhasil
menghubungi polisi.
“Dik
bener ga apa-apa? Kemungkinan besar bapa lo bakal dipenjara Dik?” Tanya Aldo.
“Demi
Bumi ini gue rela ngelakuin apapun, toh bapa gue emang salah kan?” jawabnya
yakin,
Mereka
bertemu dengan Pak Rosmiadi. Dan asyik berbincang di ruang tamu yang lagi-lagi
dihiasi dengan batang pohon yang indah dan licin. Beberapa menit kemudian
polisi datang. Ketua dari rombongan polisi itu langsung mengarah dan menangkap
Pak Rosmiadi. Bukti-bukti telah Atang berikan kepada polisi lainnya yang sedari
tadi meminta keterangan dari para saksi.
“Pah,
maafin Dika. Tapi Dika ga rela Papa terus-terusan menyiksa alam demi bisnis
semata.” Ucap Dika sedikit terisak sebelum ayahnya masuk ke dalam mobil polisi.
Pak Rosmiadi hanya bisa menunduk. Rombongan polisi itu pergi tanpa jejak
membawa Pak Rosmiadi menuju ke proses hukum, dan sebagian polisi lainnya
bertugas menyelamatkan flora dan fauna yang berada di penangkaran illegal milik
Pak Rosmiadi itu.
“Makasih
ya kalia, kalo kalian enggak kaya gini pasti alam bakal semakin menjerit karena
orang tua gue.” Ujar Dika di dalam mobil.
“Atang
tuh yang pertama kali ngasih kita clue
tentang kasus ini, bagaimana pun aku bakal nobatin Atang sebagai pahlawan
alam!” ucap Sarah setengah berteriak.
“Jadi
sekarang kita kemana?” Tanya Aldo memotong kobaran semangat Sarah.
“PULANGGG!!!”
semuanya berteriak kompak meminta pulang.
“Siap
cintaa, untungnya gue bawa SIM!” ucap Aldo sembari menancap pedal gasnya.
Akhirnya
mereka memberikan sebuah julukan bagi Atang. ‘Pahlawan Alam’. Dengan catatan
alam masih membutuhkan pahlawan-pahlawan alam seperti Atang. Bukan hanya
seperti Atang, tapi seperti kelima sahabat itu. Bagaimana pun alam itu adalah
harta karun kita yang sangat berharga. Apapun akan kita korbankan agar alam tak
terus menjerit. Sesampainya di Bandung mereka menambah kegiatan rutin mereka.
Sekarang mereka tergabung ke sebuah organisasi yang setiap minggunya rutin
mengadakan kegiatan ‘Tanam 100 Pohon’. Dan mereka juga mengajak anak jalanan
untuk menanam tanaman. Di dalam sekolah pun mereka mengadakan kegiatan yang
menyinggung tentang penyelamatan alam. Mereka tentunya dibantu dengan OSIS,
mengadakan sebuah pentas seni yang setiap pengunjungnya diharuskan membawa satu
bibit pohon berbuah. Hasil bibit pohon itu akan mereka tanam di kawasan-kawasan
gersang di sekitar Bandung. Dengan begitu, semakin lama pahlawan alam akan
semakin banyak, dan alam takan terus menjerit.
Tamat.
@ditaeyang
No comments:
Post a Comment