Friday, May 3, 2013

PAHLAWAN ALAM - Cerpen


Pahlawan Alam
    Mereka memang selalu bersama. Enam tahun berjalan bagai air yang terus mengalir, tak peduli apapun halangannya air tetap terus mengalir. Sejak SMP mereka sudah bersama, diawali dengan pertemuan sebuah kegiatan bakti sosial yang diselenggarakan pada saat itu. Mereka mulai mengenal, dan mulai memahami satu sama lain. Masa SMP berganti menjadi SMA, mereka masih bersama di satu sekolah yang sama. Butuh perjuangan berat bagi mereka agar mereka bisa satu sekolah lagi. Mereka memiliki kesenangan yang serupa. Mereka rutin mengadakan kegiatan sosial dimanapun mereka mau dan dimanapun mereka dibutuhkan. Lima sahabat itu terdiri dari dua perempuan cantik dan tiga laki-laki tampan. Kegiatan rutin mereka di sekolah adalah membantu para petugas sekolah membersehkan sekolah mereka, dan terkadang mereka juga mengumpulkan sampah-sampah itu untuk dijual, dan uang hasil penjualan sampah-sampah organik dan anorganik yang sebelumnya sudah mereka pilah itu cukup bermanfaat untuk membantu kegiatan rutin mereka−bakti sosial. Uang, uang, uang. Mereka rela membersihkan sekolah mereka hanya untuk mendapatkan sampah yang bisa mereka jual menjadi uang. Mungkin jika mereka tak terlalu butuh dengan uang, mereka tak akan berbuat sejauh itu.
            Mereka terlalu sayang pada Negeri ini, namun tak untuk alat pemerintahannya. Mereka hanya ingin membantu anak bangsa yang kurang mampu. Mereka hanya ingin memberikan kesempatan kepada anak-anak jalanan untuk mendapatkan hak mereka kembali.
            “Kaka apa benar kata ada bunga yang warnanya hitam?” Tanya Atang, satu dari sekian banyak anak jalanan yang Zaki kenal.
            “Soal itu Kak Zaki kurang tau Tang, aaaahh bagaimana jika besok Kakak akan kesini lagi sambil membawa laptop dan modem? Dari situ kamu akan mendapat sebuah informasi tentang apapun yang kamu mau! Gimana?” Tanya Zaki sedikit bersemangat karena selama ia memiliki laptop, belum pernah sama sekali ia gunakan untuk mencari pengetahuan umum. Karena selama ini ia hanya menghabiskan pulsa modemnya untuk membuka berbagai jenis sosial media dan sedikit untuk mencari tugas dari sekolahnya.
            “Tapi kak jangan di sini,” keluh Atang ketika melihat sekelilingnya. Tepatnya dibawah kolong jembatan layang Pasupati. Kemudian Atang mendekatkan bibirnya ke telinga Zaki “bahaya Kak, takut laptopnya diambil.” Bisiknya.
            “Ohhhh, ahaha kamu ini. Siap boss! Ehhh, tapi dimana dong?” Tanya Zaki bingung.
            “Ngobrol berdua aja yah kalian, ga bagi-bagi nih ceritanya?” Tanya Sarah, salah satu dari sahabat Zaki.
            “Ssssstttt ya Kak Zaki jangan bilang-bilang!” Ucap Atang pelan, yang membuat Sarah semakin menajamkan praduganya.
            “Ehhh kamu tuh ya, mungkin Kak Sarah dan yang lain bisa bantu kita.” Ucap Zaki.
            “Ngomongin apa sih kalian?” Tanya Dika.
            “Ini loh Dik, Sar, si Atang penasaran sama yang namanya bunga tapi kok warnanya item.” Jawab Zaki singkat.
            “Ohhhh, mawar hitam? Atau angrek hitam?” Tanya Dika kepada Atang.
            “Uuuuuh itu loh Kak anggrek hitam itu!” jawab Atang berapi.
            “Ahhhhh, di vila Kakak banyak loh yang begituan, mau liat ga?” Jawab Dika menyakinkan.
            “Emang vila lu dimana Dik?” Tanya Zaki.
            “Di Kalimantan sih, jauh. Itu punya bapa. Dan emang jarang ada yang nempatin disana Zak. Kesana yuk?” jawab Dika yang membuat Zaki menjadi yakin terhadapnya.
            “Abis UN ya? Bener ga?” Tanya Sarah. Kansa dan Aldo yang baru bergabung pun langsung setuju dengan argumen Sarah.
            Atang terdiam, mimik mukanya melukisnya kebingungan dan Zaki bisa membaca itu. “Kenapa kamu Tang?” Tanya Zaki.
            “Ahh emmm, Atang ga ngerti apa yang sedang kakak-kakak bicarakan. UN itu apa Kak? Kenapa ke Kalimantanya harus seudah UN?” Atang masih memutar otaknya.
            “Ohhh, UN itu semacam ujian lagi, tapi diselenggarakannya secara serentak se-Indonesia.” Jawab Zaki efektif.
            “Ehhh jangan ngelantur kemana-mana dulu, besok jadi ga?” Tanya Sarah mengembalikan arah pembicaraan yang mulai tersesat.
            “Bolehh, gini aja deh, besok kita janjian di BTC. Dari sini deket kan? Tang, nanti Kakak jemput disini jam satu siang dan kalian yang mau ikut kumpul di BTC jam setengah dua. Setuju?” simpul Zaki yang diikuti dengan persetujuan dari keempat sahabatnya disertai Atang.
***
            Pukul satu siang Zaki sudah bersama Atang. Meskipun Atang sedikit malu karena baru pertama kalinya ia masuk ke dalam sebuah bangunan besar nan tinggi yang dihiasi dengan hiruk pikuk makhluk konsumtif dan makhluk sosial. Selama ini Atang hanya bisa memandangi dari luar saja. Dan hari ini Atang akan masuk ke dalam bangunan megah itu. Beberapa kali Atang ingin mengurungkan niatnya itu, tapi karena Zaki terus meyakinkan Atang untuk pergi ke bangunan besar nan tinggi itu ia menjadi yakin.
            Sesampainya disana Atang kebingungan melihat tangga elevator yang bisa bergerak maju. Sekitar tiga elevator berhasil dilewati Atang. Dan mereka sampai ke bagian teratas. Food court.
            “Atang mau makan ga?” Tanya Zaki yang berdiri di samping Atang.
            “Kalo boleh sih mending Atang ga usah makan aja Kak, dan kalo boleh Atang pingin jatah makan Atang buat adek Atang aja.” Jawab Atang sedikit ragu.
            “Ga usah malu-malu juga lah Tang, kita kan udah kenal deket. Ahhh, tuh mereka!” seru Zaki sambil berjalan menuntung Atang menghampiri keempat sahabatnya yang sedari tadi sudah berkumpul. Zaki menarik sebuah kursi untuk tempat duduk Atang. “Tang, kamu duduk disini dan tunggu dulu ya, Kakak mau beli makanan dulu.” Ujar Zaki yang disambut dengan anggukan kepala Atang. “Oh iya, untuk cari informasi tentang bunga hitam itu kamu bisa minta tolong Kak Sarah sama Kak Kansa.” Tambahnya, dan bayangan Zaki pun menghilang dibalik kerumunan orang yang sedang sibuk mengurusi perutnya yang lapar.
            Dengan senang hati Sarah dan Kansa mengajari bagaimana cara menggunakan alat maha canggih nan maha pintar itu kepada Atang. Atang mulai mengenal apa itu yang namanya desktop, toolbar, software, cursor, dan masih banyak lagi. Sedikit demi sedikir Atang belajar membaca bahasa inggris di layar laptop itu. Tiga puluh menit berlalu. Setibanya Zaki, ia sudah melihat Atang yang mulai terfokus pada dunia maya. Matanya terpancar rasa kagum atas apa yang ia lihat di hadapannya. Zaki tersenyum bangga. Selagi Atang asyik memainkan dan mencari apa yang ia ingin ketahui, kelima sahabat itu kembali merencanakan petualangan mereka ke vila Dika. Dan mereka sepakat, hari terakhir mereka UN adalah hari dimana mereka akan berangkat ke vila Dika. Semua barang dan peralatan yang akan dibawa sudah disepakati mereka untuk disimpan di rumah Dika dari jauh-jauh hari. Sekarang hanya tinggal menunggu hari. H min 14.
            Atang mulai memperlihatkan wajah puasnya. Ilmunya bertambah. Atang mematikan laptop itu, ia menatap Sarah yang sedang membersihkan kacamatanya dan Kansa yang kembali meneguk jusnya.
            “Kak makasih ya, ternyata dari yang namanya google itu kita bisa ngedapetin apapun yang kita mau.” Ucap Atang.
            “Yahhh, itulah yang namanya kecanggihan teknologi Tang. Jadi apa yang kamu dapet?” Tanya Sarah.
            “Atang dapet segala informasi tentang bunga itu Kak, dinamakan anggrek hitam karena bunga ini punya lidah berwarna hitam dengan sedikit garis-garis hijau dan berbulu, lalu bunga ini biasa mekar pada bulan Maret hingga Juni. Pas banget yah Kak, sekarang kan bulan April.”
            “Ehh Dik, gimana kalo Atang kita bawa ke vila lo aja? Disana pasti ada anggrek hitam kan?” celetuk Sarah tajam.
            “Yah ela, emang dari awal rencananya juga udah kaya gitu Sar. Tuh kan katanya elu dapet peringkat satu dikelas tapi otaknya tetep aja loading.” Ucap Aldo kesal.
            Empat belas hari berlalu. Selangkah lagi agar mereka bisa melepas semua penatnya dan kembali menghirup udara Bumi yang masih suci, tak terkontaminasi dengan zat-zat kimia berbahaya dan polusi-polusi dari kendaraan bermotor yang sudah menjadi makanan sehari-hari warga kota. Paru-paru Bumi telah menunggu mereka. Dan mereka telah menanti-nanti sambutan hangat dari hijaunya dedaunan, dari rimbunnya pepohonan, dan dari tenangnya alam. Alam ini sungguh berarti bagi manusia, tak ada manusia yang bisa hidup tanpa alam. Alam itu bagaikan diri manusi itu sendiri, jika manusia itu menjaga alam makan manusia itu sama saja dengan menjaga dirinya sehingga tak ada penyakit yang bisa ia tularkan kepada manusia lain yang menyebabkan manusia itu sakit. Namun sebaliknya, apabila manusia itu merusak alam, maka manusia itu merusak dirinya sendiri dan bahkan merusak diri orang lain. Alam itu tak bisu, seakan-akan ia selalu mengingatkan kita dikala kita luput dari apa yang kita telah perbuat kepadanya, dengan bencana alam.
            Kali ini kelima sahabat itu−bersama Atang tentunya−akan lebih mengenal lebih jauh dengan sahabatnya yang bernama alam. Dan bagaimana karaktreristik dari sahabatnya itu yang telah lama berbaik hati kepada mereka tanpa mengetahui bagaimana sakitnya alam atas perbuatan kaum pribumi.
***
            Keenam anak manusia itu pergi dari pulau Jawa sore itu juga. Dengan berbekal pengalaman Dika yang sudah pernah pergi ke vilanya itu dengan kapal Ferri, mereka pergi ke sana dengan percaya diri.
            “Tang kenapa diem aja?” Tanya Aldo.
            “Kak Aldo kok Atang kaya muter-muter ga jelas gitu ya? Padahal Atang kan diem ga puter-puteran.” Ucap Atang lemas.
            “Ohhhh, kamu tuh mabok Tang, nih minum ini!” Aldo memberikan satu tablet obat anti mabuk jalan yang sudah tersedia di saku celana PDLnya. Aldo membantu Atang agar Atang bisa menelan obat itu. Saking sulitnya Atang untuk menelan obat itu dengan bantuan air, Atang yang tak pernah berpikir rasa obat yang ada di dalam mulutnya itu pahit mengunyah obat itu tanpa berpikir panjang lagi. Beberapa detik kemudian, “BWOOOOOO! OOOO…OOOO…OOOOKKK!” Atang mengeluarkan apa yang ada dalam lambungnya. Atang muntah tepat di depan Aldo. Aldo hanya bisa pasrah dengan keadaan. Keempat sahabatnya yang masih anteng memandangi pemandangan laut mulai tertarik oleh teriakan muntah Atang. Sarah dan Kansa berlari ke arah Atang dan Aldo.
            “Atang ga apa apa?” Tanya Sarah cemas.
            “Ah elu, udah tau Atang lagi muntah malah nanya Atang ga kenapa-napa. Ga ngerti deh gue. Sekarang lu dan Kansa obatin Atang dan gue mau ganti celana dulu oke,” nafasnya terputus dan Aldo kembali menghirup udara melalui mulutnya, lalu ia melanjutkan, “dan lo berdua yang dari tadi nonton doang, bantuin bersihin bekas muntahnya Atang.”
            Secapat kecepatan cahaya Aldo berlari mencari toilet terdekat untuk membersihkan dirinya. Sarah dan Kansa sibuk membaluri tubuh Atang dengan segala ramuan orang Sunda seperti ramuan bawang merah yang dicampur dengan minyak telon atau minyak kelapa dan sebagainya. Sementara Dika dan Zaki sibuk membersihkan lantai-lantai kapal yang sejak tadi menggenang bekas muntah Atang dengan lap pel seadanya mereka berusaha.
            Keesokan harinya disaat matahari pagi pulau Kalimantan memberikan sebersit cahaya hangatnya.
            “Kak maafin Atang ya.” Ucap Atrang kepada lima sahabat itu.
            “Ga masalah Atang, itu menjadi kenang-kenangan kita disini.” Jawab Aldo.
            “Ehhh, tuh pelabuhannya. Siap-siap cuy!” teriak Dika yang tak tidur semalam. Mereka pun sibuk mencari dan merapikan peralatan mereka. Penjaga vila Dika sudah menunggu di pelabuhan. Mereka pergi ke vila dengan mobil gunung putih kumel. Letak vila Dika tak harus menyebrang sungai dan memasuki hutan. Namun sekitar empat kilo meter dari sana kita bisa sampai di a part of face’s Kalimantan forest.
            Dua jam perjalanan dari pelabuhan, mereka sudah tiba di vila itu. Mereka membereskan barang-barang mereka. Atang yang masih sedikit shok dengan perjalanan jauh ini lebih memilih untuk beristirahat sejenak. Sarah dan Kansa sudah asyik dengan kegiatannya melihat album foto Dika yang tersimpan rapi di rak buku super besar itu. Sementara Aldi, Dika, dan Zaki sedang berusaha merakit perangkat computer Dika yang sudah lama berserakan. Mulai dari motherboard, RAM, kabel-kabel, VGA, soundcard, dan masih banyak lagi. Aldo si jenius IT tak lupa membawa berbagai macan CD installan perangkat lunak.
            Vila itu dua tingkat, dikelilingi oleh pohon kasturi. Dibagian belakang vila itu masih ada sehamparan kebun nan luas yang di isi oleh berbagai macam keanekaragaman hayati. Begitu siapapun masuk ke dalam vila itu, mereka akan langsung mendapatkan pesona ala perpustakaan hutan. Dimulai dari rak-rak buku, kursi, meja sampai hiasan-hiasan kecil yang ada disana terbuat dari batang pohon yang sudah dilas rapi nan mengkilat. Perpustakaan hutan ini sebenarnya bukan perpustakaan tapi ini adalah ruang tamu. Masuk ke ruangan berikutnya, tepatnya di balik rak buku super besar itu kita langsung berada di sebuah ruangan keluarga yang besar. Lantai pertama hanya di isi dengan ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. Untuk ruangan di lantai dua, hampir semua isi ruangan itu adalah kamar-kamar yang diberi sekat tiap kamarnya dengan menggunakan kayu-kayu alami yang sama seperti di lantai satu.
            Atang keluar dari kamar tempat ia beristirahat dan menemukan sosok tiga anak manusia yang sedang sibuk merakit sebuah benda berbentuk bangun ruang balok berwarna hitam yang isinya hanya perangkat-perangkat asing yang sama sekali tak dimengerti Atang.
            “Kak itu apa?” Tanya Atang kepada Dika.
            “Ini komputer Tang, kalo komputer ini udah bisa jalan kita internetan lagi yah kaya kemaren?” jawab Dika.
            “Emang Kak Zaki gak bawa laptop ya?” Tanya Atang singkat.         
            “Ohh enggak, soalnya berat Tang. Tunggu ya,” jawab Dika sambil membersihkan sebuah chip berbentuk persegi panjang di tangannya.
            “Atang ke luar dulu ya.” Jawab Atang singkat kemudian dibalas dengan seulas senyum milik Dika.
***
Di kebun belakang vila.
            “Ampun deh Sa, gue lupa ga bawa kacamata!” teriak Sarah panik.
            “Oh iya yah? Pantes aja dari tadi perasaan ada yang beda sama kamu Sar. Betapa bodohnya dirimu, gak salah deh Aldo selalu cerita kalo kamu tuh pinter cuma di sekolah aja, hehehe.” Jawab Kansa seraya menatap teman lawan bicaranya. Kemudian Atang datang.
            “Ehhh Tang, kebetulan ada kamu, nih yang namanya anggrek hitam.” Ucap Sarah sambil  menadahkan pot kecil bertanamkan anggrek hitam itu kepada Atang.
            “Ohhhh iya yah? Bagus ya Kak!” jawab Atang terkagum-kagum.
            “Eh Tang, kamu mau disini? Kakak berdua mau mandi dulu nih, dari tadi udah diem disini. Jangan ke vila setelah magrib ya!” pesan Kansa sembari meninggalkan Atang yang masih ayik menatapi bunga yang ia cari.
            Setelah puas mengobati penasarannya akan anggrek hitam, Atang berjalan ke belakang vila dan memasuki sebuah rumah khusus untuk penangkaran. Di sana ia melihat macan-macan kecil didalam sangkar besi yang sedang tertidur, jumlahnya tak lebih dari setengah lusin. Dan disana juga Atang melihat batang-batang pohon mengkilat yang sama seperti di dalam vila. Dan masih banyak tumbuhan lain disana, faunanya pun bukan macan mungil itu saja. Atang melihat sebuh sangkar besi besar yang tak ada penghuninya. Tapi sedikit-sedikit ia bisa membaca tulisan yang menempel di pintu sangkar itu. ‘Pongo abelii’. Atang tak mengerti apa maksud dari tulisan itu. Lalu Atang kembali ke vila karena matahari telah mengeluarkan sinar lembayungnya.
***
            Perangkat bangun ruang itu sudah bisa menyala. Setelah makan malam, Atang langsung menyambar perangkat itu. Menurut Kak Aldo si ahli IT, perangkat itu sudah terkoneksi dengan internet. Atang membuka software untuk membantu ia tersambung ke internet. Dengan lihai segera ia menuliskan www.google.co.id pada persegi panjang yang terletak di paling atas dan mengklik tombol ‘Go’. Setelah ia berhasil mengakses google ia menuliskan Pongo abelii pada persegi panjang yang terletak di bawah tulisan google.
            Google sudah memberikan opsi-opsi web yang menyajikan berbagai informasi mengenai Pongo abelii, satu persatu web ia buka di tab baru. Lalu Atang membuka bagian gambar di tab yang sedang ia gunakan. Atang mendapati gambar hewan berbulu coklat hampir orange, bagian kepalanya ada yang tidak ditumbuhi rambut. Ia melihat sebagian hewan itu ada yang sedang menggantung di pohon. Kera, pikirnya. Di sangkar besi itu akan ada hewan seperti ini, pikirnya lagi. Dibukalah tab sebelahnya yang membuka sebuah blog bernama ‘Cintai Orangutan’. Dengan sedikit tergagap Atang membaca informasi yang ada pada web tersebut.
…orangutan yang memiliki nama latin Pongo abelii dan Pongo pymaeus adalah kera besar dengan tangan yang panjang dan bulu berwarna coklat. Sering ditemukan di hutan hujan Kalimantan dan Sumatra. Orangutan menghabiskan waktunya di pohon, tidur di sarang yang dibuat dari dahan-dahan yang dibentuk menjadi tempat tidur. Orangutan merupakan hewan langka yang terancam punah dikarenakan kebakaran hutan, pemburuan liar, dan penambangan batu bara. Para petani kelapa sawit memburunya karena dianggap sebagai hama sawit… Pikiran Atang membuyar, kenampakan yang telah ia lihat tadi sore adalah sebuah sangkar besi untuk spesies bernama Pongo abelii yang bisa disebut juga sebagai orangutan. Orangutan hidup di pohon dan ia membuat sangkar sendiri, tapi yang kemarin ia temukan adalah sangkar besi yang akan ditempati oleh orangutan. Hewan ini termasuk hewan yang dilindungi, tapi Atang menyimpulkan jika orangutan merupakan hewan yang dilindungi mengapa di pekarangan belakang vila Kak Dika ada sangkar besi khusus untuk orangutan? Otak Atang semakin berputar dan berusaha menyimpulkan semua kenampakan yang telah ia lihat.
            “Hei Atang! Lagi serius ngapain ni?” Tanya Sarah.
            “Stttt!” pekiknya, lalu Atang melanjutkan, “Kak Sarah, ini gambar orangutan kan?” Tanya Atang sedikit berbisik.
            Sarah mengarahkan pandangannya ke sebuah monitor, lalu ia mengangguk kecil. Sepertinya Atang sudah bisa membaca pikiran Sarah, Atang pun melanjutkan pembicaraannya. “Kak, dibelakang vila ini ada sebuah kandang besi besar,” Atang menarik nafasnya diikuti Sarah yang juga ikut menarik nafas, “lalu, dibagian pintu kandang itu ada tulisan Pongo abelii, setelah saya telusuri ternyata itu adalah nama latin dari orangutan.” Air muka Atang berubah menjadi tanda Tanya besar.
            “Jadi maksud kamu, kamu curiga di vila ini bakal melihara orangutan? Selain kandang orangutan kamu liat apa lagi di belakang?” Tanya Sarah yang mulai terbawa suasana curiga.
            “Ada anak macan Kak, berapa biji ya? Atang lupa Kak.”
            “Kita kesana aja nanti malem ya? Nanti Kakak kasih tau Zaki oke? Sekarang kamu minjem kamera ke Kak Aldo, alesannya mau foto anggrek hitam aja oke?” Atang mengangguk kecil, dan Sarah pergi untuk memberitahu Zaki.
***
Jam sudah menunjukan pukul Sembilan  malam. Sarah dan Zaki sudah bersiap, Atang sudah memegang kamera digital milik Aldo. Mereka bertiga pergi ke belakang sementara Dika, Kansa, dan Aldo sedang asyik menonton tayangan TV swasta yang tak mungkin mereka lewatkan.  Mereka bertiga memasuki rumah penangkaran itu. Zaki tercekat, selama ini ia tak menyangkan akan ada koleksi flora dan fauna yang dilindiungi di belakang vila temannya itu. Otak Zaki terus berputar. Ia mendekati sangkar besi untuk orangutan. Dan membaca kalimat yang ditulis dengan bahasa inggris dibawah tulisan Pongo abelii. Sarah menyadari batang pohon yang ada di dalam vila Dika mirip sekali dengan batang pohon yang sedang ia pengang. Kemudian Zaki dapat menyimpulkan bahwa semua flora dan fauna yang ada disini akan dijual ke luar negeri atas wacana yang baru saja ia baca. Siapapun orang yang telah melakukan semua ini sama saja orang itu sudah merusak alam. Zaki semakin memanas, kemudian ia memutuskan untuk pergi ke dalam hutan bersama Sarah dan Atang.
Empat kilo meter sudah mereka berjalan, sekarang mereka mendapati hutan hujan Kalimantan. Mereka meninggalkan jejak berupa tali rafia yang dibiarkan mengulur di sepanjang jalan yang telah mereka lewati. Mereka semakin dalam menerobos hutan itu. Remang-remang Sarah melihat sebuah tempat kosong di balik rimbunnya pohon hutan Kalimantan. Sarah mengajak Zaki dan Atang kesana. Sekitar dua puluh langkah dari tempat mereka berpijak, mereka sudah mendapati tanah hutan Kalimantan yang rata. Pohon-pohon disana menghilang, hanya ada beberapa gergaji besar yang terhampar dimana-mana. Refleks Atang mengambil gambar hutan itu. Apa yang akan terjadi bila seluruh sisi hutan Kalimantan gundul seperti apa yang sedang mereka lihat sekarang? Akankah hewan-hewan yang tak bersalah itu mendapati habitatnya kembali? Hutan itu adalah paru-paru Bumi, hutan juga yang memberikan cadangan oksigen bagi Bumi ini. Hutan adalah penetral segala keadaan di Bumi. Apabila hutan tak ada, apa yang akan terjadi dengan Bumi ini? Lapizan ozon sudah menipis, polusi sudah bertebaran dimana-mana, limbah-limbah berserakan dimana-mana, sampah plastik semakin menumpuk, dan parahnya manusia semakin tak sadar akan perubahan terjadi. Alam pun semakin menjerit tak karuan, sayangnya hanya sekitar lima persen dari anak manusia yang bisa mendengar jeritan alam itu. Air mata Sarah tumpah, meskipun penglihatannya remang-remang, ia masih bisa merasakan kondisi hutan ini. Zaki masih memendam amarahnya, rasanya ingin sekali ia mengeluarkan semua amarahnya itu. Tapi ia bingung, siapa yang harus ia jadikan korban untuk meluapkan amarahnya itu? Dan Atang masih memutar otaknya, sedikit mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Terdengar suara bising dari dalam hutan. Meneriakan nama dari ketiga anak manusia yang sekarang ada di tengah-tengan hutan Kalimantan yang bolong. Suara itu semakin mendekat, mendekat, mendekat. Terus mendekat hingga suara itu berhenti dan sampailah ketiga remaja Indonesia ditengah hutan yang bolong. Dika masih tak percaya dengan apa yang saat ini ia lihat. Zaki menatap Dika yang baru saja datang dengan tatapan tajam. Kansa menghampiri Sarah yang masih terisak. Dan Atang menghampiri Aldo untuk menunjukan gambar yang sudah ia ambil. Keenam anak manusia itu saling bertatapan  heran. Tak ada satu pun dari mereka yang berani untuk membuka suara. Akhirnya mereka kembali ke vila.
            “Ada polisi hutan atau warga lain selain kita disini gak?” Tanya Zaki setengah berteriak kepada Dika.
            “Gue gatau Ki, itu semua kerjaan bapa gue.” Dika membela diri.
            “Dan bahkan, ornamen-ornamen di dalam ruang tamu ini pun bapa lo dapet secara illegal Dik! Lo nyadar ga? Lo kasian ga sama Bumi?” amarah Zaki semakin menjadi.
            “Udah Ki udah, mungkin Dika gak tau apa yang udah bapanya perbuat,” lerai Kansa, “Dik, lo tau sekarang bapa lo dimana?” lanjutnya.
            “Tau, bapa ada di kota yang sebelumnya kita lewatin.” Jawab Dika.
            “Sekarang kita kesana, dan setelah hanphone kita bisa dapet sinyal kita hubungi polisi terdekat.” Saran Sarah.
            “Kesananya gimana?” Tanya Atang, “jalan?” lanjutnya.
            “Gak lah, Dika pasti punya kunci serep mobilnya, bener ga Dik?” Tanya Aldo seraya Dika menganggukan kepalanya. “Gue bisa bawa mobil. Jangan buang waktu, GO!”
            Keenam anak manusia itu pergi ke kota sebelumnya yang kemarin telah mereka lewati dengan pentunujuk arah seadanya−Dika. Hanphone mereka berhasil mendapatkan sinyal. Mereka sampai di sebuah rumah besar yang terletak di perumahan elit. Rumah ayah Dika. Dan mereka sudah berhasil menghubungi polisi.
            “Dik bener ga apa-apa? Kemungkinan besar bapa lo bakal dipenjara Dik?” Tanya Aldo.
            “Demi Bumi ini gue rela ngelakuin apapun, toh bapa gue emang salah kan?” jawabnya yakin,
            Mereka bertemu dengan Pak Rosmiadi. Dan asyik berbincang di ruang tamu yang lagi-lagi dihiasi dengan batang pohon yang indah dan licin. Beberapa menit kemudian polisi datang. Ketua dari rombongan polisi itu langsung mengarah dan menangkap Pak Rosmiadi. Bukti-bukti telah Atang berikan kepada polisi lainnya yang sedari tadi meminta keterangan dari para saksi.
            “Pah, maafin Dika. Tapi Dika ga rela Papa terus-terusan menyiksa alam demi bisnis semata.” Ucap Dika sedikit terisak sebelum ayahnya masuk ke dalam mobil polisi. Pak Rosmiadi hanya bisa menunduk. Rombongan polisi itu pergi tanpa jejak membawa Pak Rosmiadi menuju ke proses hukum, dan sebagian polisi lainnya bertugas menyelamatkan flora dan fauna yang berada di penangkaran illegal milik Pak Rosmiadi itu. 
            “Makasih ya kalia, kalo kalian enggak kaya gini pasti alam bakal semakin menjerit karena orang tua gue.” Ujar Dika di dalam mobil.
            “Atang tuh yang pertama kali ngasih kita clue tentang kasus ini, bagaimana pun aku bakal nobatin Atang sebagai pahlawan alam!” ucap Sarah setengah berteriak.
            “Jadi sekarang kita kemana?” Tanya Aldo memotong kobaran semangat Sarah.
            “PULANGGG!!!” semuanya berteriak kompak meminta pulang.
            “Siap cintaa, untungnya gue bawa SIM!” ucap Aldo sembari menancap pedal gasnya.
            Akhirnya mereka memberikan sebuah julukan bagi Atang. ‘Pahlawan Alam’. Dengan catatan alam masih membutuhkan pahlawan-pahlawan alam seperti Atang. Bukan hanya seperti Atang, tapi seperti kelima sahabat itu. Bagaimana pun alam itu adalah harta karun kita yang sangat berharga. Apapun akan kita korbankan agar alam tak terus menjerit. Sesampainya di Bandung mereka menambah kegiatan rutin mereka. Sekarang mereka tergabung ke sebuah organisasi yang setiap minggunya rutin mengadakan kegiatan ‘Tanam 100 Pohon’. Dan mereka juga mengajak anak jalanan untuk menanam tanaman. Di dalam sekolah pun mereka mengadakan kegiatan yang menyinggung tentang penyelamatan alam. Mereka tentunya dibantu dengan OSIS, mengadakan sebuah pentas seni yang setiap pengunjungnya diharuskan membawa satu bibit pohon berbuah. Hasil bibit pohon itu akan mereka tanam di kawasan-kawasan gersang di sekitar Bandung. Dengan begitu, semakin lama pahlawan alam akan semakin banyak, dan alam takan terus menjerit.
Tamat.

@ditaeyang

No comments:

Post a Comment