Karena Cinta dan Sahabat
Perlahan awan mulai berkumpul dan
mulai terlihat gradasi warna. Dari putih menjadi abu. Dalam sekejap, langit
yang cerah menjadi kelabu. Angin berhembus kencang, membawa sisa-sisa daun
kering yang berserakan di tanah entah kemana. Rintik-rintik hujan mulai turun.
Hingga hujan deras pun takan terhentikan. Tak seorang pun yang berani keluar
rumah di sore itu, kecuali Langit. Namanya indah. Namun ia selalu salah
mengartikan nama yang indah itu. Ia pikir, langit adalah nama bagi seseorang
yang tidak memiliki kepribadian labil, kerena menurutnya langit selalu
berubah-ubah. Mulai dari warnanya saja sudah bisa berubah, pikirnya. Menurutnya
pun langi itu kesepian. Karena tak ada benda di atas sana yang selalu setia
menemani langit. Pagi hari datang matahati, namun ketika beranjak malam
matahari itu akan tenggelam dan di gantikan oleh bulan dan bintang. Awan pun
tak selalu hadir untuk menemani langit. Apalagi pesawat terbang yang hanya
menumpang lewat saja. Langit memikirkan itu semua adalah arti dari namanya
sendiri. Langit selalu menyendiri. Kedua orang tuanya berkecimbung di dunia
polotikus. Hanya sedikit waktu yang mereka luangkan untuk Langit. Langit
diberikan segala fasilitas mewah dari kedua orang tuanya. Tak ada satu pun yang
takan terkabulkan bagi Langit dari kedua orang tuanya. Kecuali ketika Langit
bertanya, “Mah, Pah, kapan kita bisa main bareng? Atau sekedar kumpul bareng
bertiga?”. Tak ada satupun dari kedua orang tua Langit yang bisa menjawab
pertanyaan itu. Paling tidak mereka hanya menjawab, “Nanti lagi ya Sayang, kita
bicarakan lain kali saja. Mamah dan Papah pergi dulu ya Sayang!”. Langit kecil
selalu memberikan pertanyaan kepada kedua orang tuanya kapan mereka bisa
bermain bersama. Namun Langit yang sekarang kini berbeda. Langit sudah SMP, dan
Langit sudah merasa dirinya dewasa. Langit takan pernah menanyakan hal itu lagi
karena Langit sendiri sudah tahu pasti apa jawaban yang akan dijawab oleh kedua
orang tuanya. Kini Langit memutuskan untuk mengatur hidupnya sendiri. Langit
takan pernah memikirkan kedua orang tuanya lagi karena menurutnya orang tuanya
pun tak mernah memikirkan keadaannya. Tak ada satu pun makna hidup yang Langit
rasakan saat ini. Kecuali rasa untuk melampiaskan semua emosi dalam dirinya.
Yang sudah bertahun-tahun ia pendam, bertahun-tahun ia kunci rapat, dan
bertahun-tahun ia redam. Langit memiliki wajah yang mapan sebagai seorang
remaja putra kelas VIII SMP. Dengan kacamata mahalnya itu Langit menatap dunia
yang menurutnya patut untuk diberi hukuman karena telah menyiksanya sedemikian
rupa. Telah membuatnya menjadi orang yang pemalu dan pendiam di masa lalu. Dan
telah membuatnya menjadi seseorang yang menerima keadaan apapun itu dampaknya.
Banyak hal yang sebenarnya bisa Langit lakukan. Banyak sudah remaja putrid yang
tertarik pada pesona tersendiri yang dimiliki Langit. Langit bertubuh tinggi,
berkulit putih, ada sedikit keturunan bule, senyumnya manis, anak orang kaya,
dan pintar. Wajar saja jika setiap ia melangkah aka nada banyak sepasang mata
kaum hawa yang akan memandangnya tanpa bosan. namun tak ada sepasang mata pun
yang mampu mamikat hati Langit. Hatinya sudah terlalu penuh dengan dendamnya.
Hatinya sudah tak bisa merasakan cinta yang sebenarnya adalah komposisi yang
paling ia butuhkan bagi hatinya saat ini, hatinya tak lagi memiliki perasaan
yang mampu mengontrol segala perbuatannya. Hatinya sudah kaku. Terlalu kaku
untuk bisa merasakan cinta dan kasih sa yang dari siapapun.
***
“Langit?”
Tanya seorang teman sekelas perempuannya yang Langit sendiri tak tahu nama
teman sekelasnya itu.
“Siapa
kamu?” Tanya Langit dengan ketus lalu pergi dengan dinginnya menghiraukan
perempuan manis itu.
“Udah
lah Cha, Langit itu emang kaya gitu kelakuannya. Gue aja yang udah dua taun
sekelas sama dia belum pernah ngomong apapun sama dia Cha.” Ucap Rara teman
dekat Icha.
“Padahal
Ra, gue Cuma mau minta dia ngejelasin gue tentang aljabar. Soalnya kan tadi dia
pas disuruh ke depan sama Pak Rahmat dia bisa ngerjainnya. Dan Cuma dia doang
yang bisa ngerjain soal itu di kelas ini Ra,” keluh Icha kepada Rara sambil
terus menatapi soal aljabar yang penuh dengan variable dan konstanta yang
dicampur adukkan dalam satu buah soal matematika.
“Yaaa
sabar aja deh lo, kan maklum aja lah lo baru sekelas sama Langin baru seminggu
Bray!” jawab Rara. Rara mellihat mimic muka Icha yang mulai senyum-senyum
sendiri, “ehh, napa lo senyam-senyum gitu?” Tanya Rara.
“Heheheh,
engga ko. Tapi dipikir-pikir Langit ganteng juga yah?” Tanya Icha sambil
berbisik.
“Ahhh
elu mah demennya sama yang jutek-jutek gitu Chaa, gue ga suka ah. Lo tuh
kayanya udah jadi cewe ke sekian ratus di sekolah ini yang ngeceng sama
Langit.” Tutur Rara dengan nafsu.
“Yaa
biarin aja, ini kan aku yang jalanin Ra. Bukan kamu kan?”
“Ahhhh,
susah deh nasehatin anak kecil! Gue nyerah ah Cha,” ucap Rara sambil mengangkat
kedua tangannya sejajar dengan kepalanya.
“Jangan
ngambek dong Raaa, aku kan sayang sama kamuu,” ucap Icha apa adanya.
“Ihhh,
lu suka sama yang sejenis ya Cha? Hehehehe,”
“Bukannn
ih, aku emang sayang aja sama kamu. Aku juga sayang kok sama semua orang
disini. Termasuk Langit! Hehehe,” ucap Icha penuh dengan percaya diri tanpa
mengetahui bahwa Langit telah mendengar itu semua. Karena sekarang Langit
berada di belakangnya.
“Misi!”
ucap Langit untuk yang kedua kalinya kepada Icha dengan ketus.
“Kamu
mau lewat? Bisa lebih sopan ga?” Tanya Icha dengan suara super lembutnya. Ia
menunggu jawaban dari Langit dan terus berharap Langit akan menjawab
pertanyaannya itu dengan segala kondisi yang ia miliki.
“Ckk!”
terdengar suara dari decakan lidah Langit dan tanpa ragu Langit membobrok
benteng yang sedang Icha bangun saat ini. Langit kembali ke posisi tempat
duduknya dan tak peduli dengan Icha yang masih menahan rasa sakit berkat
hantaman dari dirinya.
Rara
membantu Icha untuk berdiri. “Cha, lo aja yang menurut gue lo tuh cantik,
manis, imut, dang a ada satu faktor pun yang bisa gue benci dari lo masih
diacuhin sama Langit. Dan bahkan lo didobrak abis-abisan tadi. Masih sakit ga?”
“”Emmmm…
engga kok udah ga terlalu sakit,” jawab Icha, “eh Ra, aku makin penasaran sama
Langit!” bisik Icha kepada Rara yang membuat Rara menelan ludahnya yang memang
tak layak untuk ditelan, saking kagetnya.
“Lu
udah miring Cha!” pekiknya pelan, “mending ngecengin Denny Sumargo lahh Cha,”
ucap Rara frontal.
“Denny
tuh jauh Ra di Jakarta, sementara kita di Bandung. Mending yang deket-deket aja
deh, aku penasaran sama kepribadiannya Raaa. Dukung aku yaaaa? Plissss…” pinta
Icha sambil tercengar-cengir sendiri.
“Ya
lahhh, gue kan baik!” ucap Rara dengan pasrah.
“Yuhuuuuu,
kau memang sahabatku yang paling baik Raraaa,” lalu Icha memeluk sahabatnya itu
dan mengecup pipi sahabatnya itu. Rara hanya bisa berekspresi jijik karena tak
mungkin bagi Rara untuk mengelap pipinya itu di depan sahabatnya sendiri.
***
Seminggu
sudah Langit diterpa badai yang dihasilkan dari pertemuannya dengan perempuan
asing di kelasnya yang tak senganja ia buat terjatuh. Langit baru menyadari
bahwa tak semua perempuan memiliki kekuatan seperti laki-laki. Langit belajar
satu dari perempuan itu bahwa dia tak boleh bersikap kasar kepada perempuan.
“Langiiiiittt,
apa-apaan sih? Kok lo malah mikirin orang lain?” Tanya Langit kepada dirinya
sendiri di depan kaca rias kamar kedua orang tuanya yang sampai hari ini masih
kosong. “Tuhann, semoga Engkau tak mempertemukan gue dengan perempuan aneh itu,
amin.” Pinta Langit sebelum pergi ke sekolah. Seperti biasa, tak ada siapapun
yang bisa Langit pamiti saat ia akan berangkat ke sekolah. Hanya Mbo Ima saja
manusia yang ada di rumah itu. Namun Mbo Ima tak mau jika Langit berpamitan ketika akan berangkat ke sekolah
kepadanya, karena menurutnya ia tak memiliki hak apapun atas itu semua.
“Langiiiit!”
sebuah suara memanggilnya dari belakang saat ia sedang berjalan di koridor
sekolah. Langit melirik ke belakang, dan yang kini ia lihat hanyala perempuan
aneh itu. Langit mempercepat langkahnya menuju kelas, nyaris berlari. Dan
alhasil perempuan aneh itu tertinggal jauh di belakang. Sesampainya di kelas
Langit segera menaruh tasnya dan mengeluarkan smartphone-nya dan mulai memutar lagu dengan volume suara terkecil.
***
Nafas
Icha masih tak konsisten. Begitu ia kehilangan jejak Langit, ia segera berlari
ke kelas dengan semangat empat lima. Dan berharap Langit ada di kelas. Icha
membuka lebar pintu kelas yang sedikit terbuka, dan ia mendapati sosok Langit
yang sedang duduk dan sepertinya sedang mendengarkan lagu. Setelah menaruh
tasnya, Icha mendekati Langit. Icha memperhatikan teman sekelasnya itu dengan
seksama. Menganalisis setiap kata, kalimat, dan nada yang terdengar samar-samar
dari handphone Langit.
“Ehhhhh,
aku kenal lagu itu Ngit!” ucap Icha tanpa malu kepada Langit. Langit hanya
melirik sebentar ke arahnya dan kembali bibuk dengan dunianya sendiri. “Ihhhh,
dengerin duluuu. Itu lagunya Yui kan?” Tanya Icha. Tak ada respon dari Langit.
“Hallloooo, aku nanya itu lagunya Yui kan Ngit?” tanyanya lagi.
“Iya.”
Jawab Langit dingin tanpa melirik ke arah Icha sedikitpun.
“Dannn
itu judulnya Good Byedays kan?” Tanya Icha lagi. Kini Langit hanya
menganggukkan kepalanya saja tanpa berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arah
Icha. “Ohhh iya deh bener itu judulnya.” Simpul Icha. “Kalo gue sih sukanya
yang Laugh Away Ngit, hehehe.” Icha sedikit jengkel karena Langit tak memberi
respon. Sehingga Icha akan terus membuat opik pembicaraan baru.
Langit
kembali mendecakkan lidahnya, lalu mengoperkan lagunya menjadi Laugh Away. Icha
sudah mengenali lagu ini dari awal masuknya, Icha semakin penasaran dengan
kepribadian yang dimiliki oleh Langit. Icha bersenandung mengikuti irama, nada,
dan tempo lagu Laugh Away dari handphone
Langit. Dan sedikit-sedikit Icha menyadari bahwa Langit ikut bersenandung
besamanya. Tak terasa bel masuk sudah berbunyi. “Aku duduk dulu ya Ngit!” ucap
Icha kepada Langi yang kondisinya masih saja dingin-dingin. Icha merasa kasihan
kepada Langit karena Langit tak memiliki satupun teman di kelas ini. Ia duduk
sendiri, kemanapun ia sendiri. Tak pernah bertanya atau bersosialisasi dengan
temannya atau gurunya sendiri.
Icha
duduk di bangkunya bersama Rara. Dan Icha baru menyadari Rara tak ada
disampingnya. Ia membuka handphone-nya
dan mendapati sebuah pesan dari Rara.
Cha, hari ini gue ga akan sekolah. Nenek gue meninggal Chaa L, gue udah izin ke Bu Lina kok. Baik-baik tanpa gue ya.
Icha memberikan balasan kepada Rara.
I’m sorry to hear that Raaa, semoga kamu dan keluarga diberikan ketabahan
ya sayang. Dah sayang, Icha belajar dulu yah.
Rara
tak membalas pesan singkat yang dikirimkan oleh Icha. Mungkin Rara sedang dalam
proses pemakaman neneknya. Dan di dalam benaknya terbersit sesuatu. Icha segera
merapikan kembali bukunya yang sudah terlajur ia taruh di atas meja lalu
memasukannya ke dalam tas merah mudanya dan Icha akan melakukan transmigrasi ke
tempat duduk Langit.
“Ikut
duduk ya, Rara ga masuk sekolah. Jadi untuk sementara aku duduk sama kamu.”
Celoteh Icha sesaat setelah duduk di samping Langit dalam kesatuan sebuah meja.
Lagi-lagi Icha tak mendapat respon apapun dari Langit. Dan seperti biasa Icha
akan berusaha membuat topik pembicaraan baru.
***
Gue tunngu lo di taman Dago jan 10 pagi besok. Ga keberatan kan? Besok
kan hari Minggu. Jangan telat, jangan juga ga dateng. Terimakasih J
“Malesin
banget sih! Siapa lagi yang nyelipin kertas kucel kaya begini di kotak pensil
gue? Mana ganggu hari libur gue aja lagi.” Ucap Langit ketus. Jam sudah
menunjukkan pukul sepuluh pagi di Minggu pagi. Langit tak memperdulikan itu.
Hingga nafas Langit tercekat. “Taman Dago? Pasti Abay yang ngasih gue kertas
ini!” dengan penuh keyakinan Langit pergi ke taman Dago.
Langit
terus mencari-cari sosok Abay di taman Dago itu. Hingga seseorang menepuknya
dari belakang. Langit membalikkan badan.
“Hai!”
Icha melambaikan sebelah tangannya.
Langit
menelan ludahnya. “Abay itu bukan sahabat gue lagi!” ucapnya.
“Hah
Abay? Siapa Abay? Ohhhhhh, Abay kelas VIII-A yah? Yang jago main gitar itu
kan?” Tanya Icha penasaran.
“Stop!
Lu jangan sebut-sebut namanya lagi.” Pinta Langit.
“Emang
kenapa? Gue bisa tebak, pasti Abay adalah oran yang berharga buat kamu karena
kamu awalnya ngira aku adalah Abay, yakan? Dan sekarang kalian berdua sedang
mengalami suatu masalah?”
“Lo
bener, gue dan Abay dulu sahabat. Tapi sekarang bukan. Dia lupa ingatan dan
lupa segalanya, gue temen SDnya. Cuma Abay yang bisa ngertiin gue dibandingkan
dengan orang tua gue yang sama sekali gak pernah merhatiin gue. Tapi semenjak
Abay hilang ingatan, ga ada lagi yang merhatiin gue.” Ceritanya singkat.
“Oh
ya? Gue suka Abay kalo Abay lagi main gitar. Mantep banget lah! Ehh iya, ga ada
tuh yang namanya mantan sahabat. Menurutku sih lambat laun sih ingatan Abay
pasti bisa pulih lagi, asal kamu setia ngingetin dia dan setia nemenin dia.
Hilang ingatan, siapa yang harus disalahin? Udah lah Ngit jangan benci ke Abay,
toh bukan dia juga yang mau untuk hilang ingatan. Dan untuk masalah orang
tuamu, mungkin dengan kamu memulai untuk memperhatikan mereka, mereka akan
mulai juga mencoba untuk memperhatikan kamu.” Papar Icha kepada Langit.
Kemudian Langit pergi meninggalkan Icha yang sedari tadi berdiri di depan huruf
“A” di taman Dago. Icha menunggu Langit dalam selang waktu yang cukup lama. Di
dalam benaknya, Icha sangat bersyukur untuk hari ini. Karena setidaknya mungkin
hanya dia satu-satunya perempuan yang pernah bisa berbincang-bincang dengan Langit
dalam hal yang menyangkut hidup Langit.
Langit
kembali membawa gitar tua, “ini lagu bua lo, dengerin baik-baik Cha…” ucapnya
dengan lembut tak seperti biasanya, “hidup
tak lagi sepi malam tak lagi terasa sunyi ketika ada teman yang peduli dan mau untuk
berbagi… kesedihan pun berganti tawa kebimbangan pun terharus sirna jikalau ada
sahabat setia yang mampu sembuhkan luka… tiada yang abadi di dunia tiada yang
kekal selamanya… coba dengarkan petuah dari mereka semua kita hidup di dunia
hanya sementara dan takan ada yang sanggup untuk tetapbertahan kecuali cinta
dan persahabatan karena memang hidup kita akan menjadi lebih indah… semua
karena cinta dan persahabatan… bukan Abay aja kan yang bisa main gitar? Gue
juga bisaa Chaa. Cha makasih ya, lo udah balikin semua yang hilang dari diri
gue. Gue jadi bisa bersosialisasi lagi. Gue sekarang punya lu, makasihh,” ucap Langit
setelah selesai menyanyikan lagu dari The Rain.
“Aku
gak ngerti apa-apa Ngit.” Ucap Icha dingin karena masih tak percaya dengan apa
yang sekarang ia lihat.
“Gue
ngerti banget lo itu penasaran sama kepribadian gue, lo tuh ingin bisa nemenin
gue dikala gue lagi sendiri Cha.” Jelas Langit.
“Kata
siapa tuh?” Tanya Icha singkat.
“Gue
yang denger sendiri, setiap lo lagi ngomong sama temen sebangku lo itu selau
kedengeran sama gue Chaa,” ucap Langit yang masih memegang gitar tua milik
musisi jalanan yang ia sewa secara paksa.
“Oke,
aku ngerti Ngit.”
“Jadiiii,
yang waktu itu lo ngomong kalo lo itu sayang sama gue, maksudnya lo suka sama
gue?” Tanya Langit serius sambil sedikit mencondongkan kepalanya untuk melihat
mimic muka Icha lebih jelas.
“Ohhhhh,
itu salah paham Ngit. Gue sayang sama lo sebagai temen dan sekarang mungkin
sebagai sahabat.”
“Makasih
Chaaaa, gue juga sayang sama lo. Makasih banget!” jawab Langit histeris.
“Ya
ampun ga kekira juga yah ternyata kamu ga mau diem juga orangnya.” Protes Icha.
“Kan
elo yang udah bisa ngerubah gue, dan sekarang gue adalah Langit yang selalu
cerah dan tak pernak kelam, karenaa…” secepat kilat mulut langit sidah
berisikan roti isi pisang yang membuat dirinya tak bisa menggerakkan mulutnya.
“Karena cinta dan persahabatann…” Icha
bersenandung di depan Langit yang mulutnya masih penuh dengan roti isi pisang
dan tersenyum karena misinya telah berhasil karena
cinta dan persahabatan.
Dan
akhirnya Langit bisa mengubah dirinya menjadi secerah langit pagi. Dan takan
pernah lagi menjelek-jelekan namanya sendiri. Dan Langit akan berusaha untuk
membanggakan sahabanya yang sudah bisa mengubah hidupnya, Icha. Dan Langit
mulai berusaha memberikan perhatiannya kepada Abay dan kedua orang tuanya.
TAMAT.
@ditaeyang
No comments:
Post a Comment