Friday, May 3, 2013

KARENA CINTA DAN SAHABAT - Cerpen


Karena Cinta dan Sahabat

Perlahan awan mulai berkumpul dan mulai terlihat gradasi warna. Dari putih menjadi abu. Dalam sekejap, langit yang cerah menjadi kelabu. Angin berhembus kencang, membawa sisa-sisa daun kering yang berserakan di tanah entah kemana. Rintik-rintik hujan mulai turun. Hingga hujan deras pun takan terhentikan. Tak seorang pun yang berani keluar rumah di sore itu, kecuali Langit. Namanya indah. Namun ia selalu salah mengartikan nama yang indah itu. Ia pikir, langit adalah nama bagi seseorang yang tidak memiliki kepribadian labil, kerena menurutnya langit selalu berubah-ubah. Mulai dari warnanya saja sudah bisa berubah, pikirnya. Menurutnya pun langi itu kesepian. Karena tak ada benda di atas sana yang selalu setia menemani langit. Pagi hari datang matahati, namun ketika beranjak malam matahari itu akan tenggelam dan di gantikan oleh bulan dan bintang. Awan pun tak selalu hadir untuk menemani langit. Apalagi pesawat terbang yang hanya menumpang lewat saja. Langit memikirkan itu semua adalah arti dari namanya sendiri. Langit selalu menyendiri. Kedua orang tuanya berkecimbung di dunia polotikus. Hanya sedikit waktu yang mereka luangkan untuk Langit. Langit diberikan segala fasilitas mewah dari kedua orang tuanya. Tak ada satu pun yang takan terkabulkan bagi Langit dari kedua orang tuanya. Kecuali ketika Langit bertanya, “Mah, Pah, kapan kita bisa main bareng? Atau sekedar kumpul bareng bertiga?”. Tak ada satupun dari kedua orang tua Langit yang bisa menjawab pertanyaan itu. Paling tidak mereka hanya menjawab, “Nanti lagi ya Sayang, kita bicarakan lain kali saja. Mamah dan Papah pergi dulu ya Sayang!”. Langit kecil selalu memberikan pertanyaan kepada kedua orang tuanya kapan mereka bisa bermain bersama. Namun Langit yang sekarang kini berbeda. Langit sudah SMP, dan Langit sudah merasa dirinya dewasa. Langit takan pernah menanyakan hal itu lagi karena Langit sendiri sudah tahu pasti apa jawaban yang akan dijawab oleh kedua orang tuanya. Kini Langit memutuskan untuk mengatur hidupnya sendiri. Langit takan pernah memikirkan kedua orang tuanya lagi karena menurutnya orang tuanya pun tak mernah memikirkan keadaannya. Tak ada satu pun makna hidup yang Langit rasakan saat ini. Kecuali rasa untuk melampiaskan semua emosi dalam dirinya. Yang sudah bertahun-tahun ia pendam, bertahun-tahun ia kunci rapat, dan bertahun-tahun ia redam. Langit memiliki wajah yang mapan sebagai seorang remaja putra kelas VIII SMP. Dengan kacamata mahalnya itu Langit menatap dunia yang menurutnya patut untuk diberi hukuman karena telah menyiksanya sedemikian rupa. Telah membuatnya menjadi orang yang pemalu dan pendiam di masa lalu. Dan telah membuatnya menjadi seseorang yang menerima keadaan apapun itu dampaknya. Banyak hal yang sebenarnya bisa Langit lakukan. Banyak sudah remaja putrid yang tertarik pada pesona tersendiri yang dimiliki Langit. Langit bertubuh tinggi, berkulit putih, ada sedikit keturunan bule, senyumnya manis, anak orang kaya, dan pintar. Wajar saja jika setiap ia melangkah aka nada banyak sepasang mata kaum hawa yang akan memandangnya tanpa bosan. namun tak ada sepasang mata pun yang mampu mamikat hati Langit. Hatinya sudah terlalu penuh dengan dendamnya. Hatinya sudah tak bisa merasakan cinta yang sebenarnya adalah komposisi yang paling ia butuhkan bagi hatinya saat ini, hatinya tak lagi memiliki perasaan yang mampu mengontrol segala perbuatannya. Hatinya sudah kaku. Terlalu kaku untuk bisa merasakan cinta dan kasih sa yang dari siapapun.
***
            “Langit?” Tanya seorang teman sekelas perempuannya yang Langit sendiri tak tahu nama teman sekelasnya itu.
            “Siapa kamu?” Tanya Langit dengan ketus lalu pergi dengan dinginnya menghiraukan perempuan manis itu.
            “Udah lah Cha, Langit itu emang kaya gitu kelakuannya. Gue aja yang udah dua taun sekelas sama dia belum pernah ngomong apapun sama dia Cha.” Ucap Rara teman dekat Icha.
            “Padahal Ra, gue Cuma mau minta dia ngejelasin gue tentang aljabar. Soalnya kan tadi dia pas disuruh ke depan sama Pak Rahmat dia bisa ngerjainnya. Dan Cuma dia doang yang bisa ngerjain soal itu di kelas ini Ra,” keluh Icha kepada Rara sambil terus menatapi soal aljabar yang penuh dengan variable dan konstanta yang dicampur adukkan dalam satu buah soal matematika.
            “Yaaa sabar aja deh lo, kan maklum aja lah lo baru sekelas sama Langin baru seminggu Bray!” jawab Rara. Rara mellihat mimic muka Icha yang mulai senyum-senyum sendiri, “ehh, napa lo senyam-senyum gitu?” Tanya Rara.
            “Heheheh, engga ko. Tapi dipikir-pikir Langit ganteng juga yah?” Tanya Icha sambil berbisik.
            “Ahhh elu mah demennya sama yang jutek-jutek gitu Chaa, gue ga suka ah. Lo tuh kayanya udah jadi cewe ke sekian ratus di sekolah ini yang ngeceng sama Langit.” Tutur Rara dengan nafsu.
            “Yaa biarin aja, ini kan aku yang jalanin Ra. Bukan kamu kan?”
            “Ahhhh, susah deh nasehatin anak kecil! Gue nyerah ah Cha,” ucap Rara sambil mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kepalanya.
            “Jangan ngambek dong Raaa, aku kan sayang sama kamuu,” ucap Icha apa adanya.
            “Ihhh, lu suka sama yang sejenis ya Cha? Hehehehe,”
            “Bukannn ih, aku emang sayang aja sama kamu. Aku juga sayang kok sama semua orang disini. Termasuk Langit! Hehehe,” ucap Icha penuh dengan percaya diri tanpa mengetahui bahwa Langit telah mendengar itu semua. Karena sekarang Langit berada di belakangnya.
            “Misi!” ucap Langit untuk yang kedua kalinya kepada Icha dengan ketus.
            “Kamu mau lewat? Bisa lebih sopan ga?” Tanya Icha dengan suara super lembutnya. Ia menunggu jawaban dari Langit dan terus berharap Langit akan menjawab pertanyaannya itu dengan segala kondisi yang ia miliki.
            “Ckk!” terdengar suara dari decakan lidah Langit dan tanpa ragu Langit membobrok benteng yang sedang Icha bangun saat ini. Langit kembali ke posisi tempat duduknya dan tak peduli dengan Icha yang masih menahan rasa sakit berkat hantaman dari dirinya.
            Rara membantu Icha untuk berdiri. “Cha, lo aja yang menurut gue lo tuh cantik, manis, imut, dang a ada satu faktor pun yang bisa gue benci dari lo masih diacuhin sama Langit. Dan bahkan lo didobrak abis-abisan tadi. Masih sakit ga?”
            “”Emmmm… engga kok udah ga terlalu sakit,” jawab Icha, “eh Ra, aku makin penasaran sama Langit!” bisik Icha kepada Rara yang membuat Rara menelan ludahnya yang memang tak layak untuk ditelan, saking kagetnya.
            “Lu udah miring Cha!” pekiknya pelan, “mending ngecengin Denny Sumargo lahh Cha,” ucap Rara frontal.
            “Denny tuh jauh Ra di Jakarta, sementara kita di Bandung. Mending yang deket-deket aja deh, aku penasaran sama kepribadiannya Raaa. Dukung aku yaaaa? Plissss…” pinta Icha sambil tercengar-cengir sendiri.
            “Ya lahhh, gue kan baik!” ucap Rara dengan pasrah.
            “Yuhuuuuu, kau memang sahabatku yang paling baik Raraaa,” lalu Icha memeluk sahabatnya itu dan mengecup pipi sahabatnya itu. Rara hanya bisa berekspresi jijik karena tak mungkin bagi Rara untuk mengelap pipinya itu di depan sahabatnya sendiri.
***
            Seminggu sudah Langit diterpa badai yang dihasilkan dari pertemuannya dengan perempuan asing di kelasnya yang tak senganja ia buat terjatuh. Langit baru menyadari bahwa tak semua perempuan memiliki kekuatan seperti laki-laki. Langit belajar satu dari perempuan itu bahwa dia tak boleh bersikap kasar kepada perempuan.
            “Langiiiiittt, apa-apaan sih? Kok lo malah mikirin orang lain?” Tanya Langit kepada dirinya sendiri di depan kaca rias kamar kedua orang tuanya yang sampai hari ini masih kosong. “Tuhann, semoga Engkau tak mempertemukan gue dengan perempuan aneh itu, amin.” Pinta Langit sebelum pergi ke sekolah. Seperti biasa, tak ada siapapun yang bisa Langit pamiti saat ia akan berangkat ke sekolah. Hanya Mbo Ima saja manusia yang ada di rumah itu. Namun Mbo Ima tak mau jika Langit  berpamitan ketika akan berangkat ke sekolah kepadanya, karena menurutnya ia tak memiliki hak apapun atas itu semua.
            “Langiiiit!” sebuah suara memanggilnya dari belakang saat ia sedang berjalan di koridor sekolah. Langit melirik ke belakang, dan yang kini ia lihat hanyala perempuan aneh itu. Langit mempercepat langkahnya menuju kelas, nyaris berlari. Dan alhasil perempuan aneh itu tertinggal jauh di belakang. Sesampainya di kelas Langit segera menaruh tasnya dan mengeluarkan smartphone-nya dan mulai memutar lagu dengan volume suara terkecil.
***
            Nafas Icha masih tak konsisten. Begitu ia kehilangan jejak Langit, ia segera berlari ke kelas dengan semangat empat lima. Dan berharap Langit ada di kelas. Icha membuka lebar pintu kelas yang sedikit terbuka, dan ia mendapati sosok Langit yang sedang duduk dan sepertinya sedang mendengarkan lagu. Setelah menaruh tasnya, Icha mendekati Langit. Icha memperhatikan teman sekelasnya itu dengan seksama. Menganalisis setiap kata, kalimat, dan nada yang terdengar samar-samar dari handphone Langit.
            “Ehhhhh, aku kenal lagu itu Ngit!” ucap Icha tanpa malu kepada Langit. Langit hanya melirik sebentar ke arahnya dan kembali bibuk dengan dunianya sendiri. “Ihhhh, dengerin duluuu. Itu lagunya Yui kan?” Tanya Icha. Tak ada respon dari Langit. “Hallloooo, aku nanya itu lagunya Yui kan Ngit?” tanyanya lagi.
            “Iya.” Jawab Langit dingin tanpa melirik ke arah Icha sedikitpun.
            “Dannn itu judulnya Good Byedays kan?” Tanya Icha lagi. Kini Langit hanya menganggukkan kepalanya saja tanpa berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arah Icha. “Ohhh iya deh bener itu judulnya.” Simpul Icha. “Kalo gue sih sukanya yang Laugh Away Ngit, hehehe.” Icha sedikit jengkel karena Langit tak memberi respon. Sehingga Icha akan terus membuat opik pembicaraan baru.
            Langit kembali mendecakkan lidahnya, lalu mengoperkan lagunya menjadi Laugh Away. Icha sudah mengenali lagu ini dari awal masuknya, Icha semakin penasaran dengan kepribadian yang dimiliki oleh Langit. Icha bersenandung mengikuti irama, nada, dan tempo lagu Laugh Away dari handphone Langit. Dan sedikit-sedikit Icha menyadari bahwa Langit ikut bersenandung besamanya. Tak terasa bel masuk sudah berbunyi. “Aku duduk dulu ya Ngit!” ucap Icha kepada Langi yang kondisinya masih saja dingin-dingin. Icha merasa kasihan kepada Langit karena Langit tak memiliki satupun teman di kelas ini. Ia duduk sendiri, kemanapun ia sendiri. Tak pernah bertanya atau bersosialisasi dengan temannya atau gurunya sendiri.
            Icha duduk di bangkunya bersama Rara. Dan Icha baru menyadari Rara tak ada disampingnya. Ia membuka handphone-nya dan mendapati sebuah pesan dari Rara.
Cha, hari ini gue ga akan sekolah. Nenek gue meninggal Chaa L, gue udah izin ke Bu Lina kok. Baik-baik tanpa gue ya.
Icha memberikan balasan kepada Rara.
I’m sorry to hear that Raaa, semoga kamu dan keluarga diberikan ketabahan ya sayang. Dah sayang, Icha belajar dulu yah.
            Rara tak membalas pesan singkat yang dikirimkan oleh Icha. Mungkin Rara sedang dalam proses pemakaman neneknya. Dan di dalam benaknya terbersit sesuatu. Icha segera merapikan kembali bukunya yang sudah terlajur ia taruh di atas meja lalu memasukannya ke dalam tas merah mudanya dan Icha akan melakukan transmigrasi ke tempat duduk Langit.
            “Ikut duduk ya, Rara ga masuk sekolah. Jadi untuk sementara aku duduk sama kamu.” Celoteh Icha sesaat setelah duduk di samping Langit dalam kesatuan sebuah meja. Lagi-lagi Icha tak mendapat respon apapun dari Langit. Dan seperti biasa Icha akan berusaha membuat topik pembicaraan baru.
***
Gue tunngu lo di taman Dago jan 10 pagi besok. Ga keberatan kan? Besok kan hari Minggu. Jangan telat, jangan juga ga dateng. Terimakasih J
            “Malesin banget sih! Siapa lagi yang nyelipin kertas kucel kaya begini di kotak pensil gue? Mana ganggu hari libur gue aja lagi.” Ucap Langit ketus. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi di Minggu pagi. Langit tak memperdulikan itu. Hingga nafas Langit tercekat. “Taman Dago? Pasti Abay yang ngasih gue kertas ini!” dengan penuh keyakinan Langit pergi ke taman Dago.
            Langit terus mencari-cari sosok Abay di taman Dago itu. Hingga seseorang menepuknya dari belakang. Langit membalikkan badan.
            “Hai!” Icha melambaikan sebelah tangannya.
            Langit menelan ludahnya. “Abay itu bukan sahabat gue lagi!” ucapnya.
            “Hah Abay? Siapa Abay? Ohhhhhh, Abay kelas VIII-A yah? Yang jago main gitar itu kan?” Tanya Icha penasaran.
            “Stop! Lu jangan sebut-sebut namanya lagi.” Pinta Langit.
            “Emang kenapa? Gue bisa tebak, pasti Abay adalah oran yang berharga buat kamu karena kamu awalnya ngira aku adalah Abay, yakan? Dan sekarang kalian berdua sedang mengalami suatu masalah?”
            “Lo bener, gue dan Abay dulu sahabat. Tapi sekarang bukan. Dia lupa ingatan dan lupa segalanya, gue temen SDnya. Cuma Abay yang bisa ngertiin gue dibandingkan dengan orang tua gue yang sama sekali gak pernah merhatiin gue. Tapi semenjak Abay hilang ingatan, ga ada lagi yang merhatiin gue.” Ceritanya singkat.
            “Oh ya? Gue suka Abay kalo Abay lagi main gitar. Mantep banget lah! Ehh iya, ga ada tuh yang namanya mantan sahabat. Menurutku sih lambat laun sih ingatan Abay pasti bisa pulih lagi, asal kamu setia ngingetin dia dan setia nemenin dia. Hilang ingatan, siapa yang harus disalahin? Udah lah Ngit jangan benci ke Abay, toh bukan dia juga yang mau untuk hilang ingatan. Dan untuk masalah orang tuamu, mungkin dengan kamu memulai untuk memperhatikan mereka, mereka akan mulai juga mencoba untuk memperhatikan kamu.” Papar Icha kepada Langit. Kemudian Langit pergi meninggalkan Icha yang sedari tadi berdiri di depan huruf “A” di taman Dago. Icha menunggu Langit dalam selang waktu yang cukup lama. Di dalam benaknya, Icha sangat bersyukur untuk hari ini. Karena setidaknya mungkin hanya dia satu-satunya perempuan yang pernah bisa berbincang-bincang dengan Langit dalam hal yang menyangkut hidup Langit.
            Langit kembali membawa gitar tua, “ini lagu bua lo, dengerin baik-baik Cha…” ucapnya dengan lembut tak seperti biasanya, “hidup tak lagi sepi malam tak lagi terasa sunyi ketika ada teman yang peduli dan mau untuk berbagi… kesedihan pun berganti tawa kebimbangan pun terharus sirna jikalau ada sahabat setia yang mampu sembuhkan luka… tiada yang abadi di dunia tiada yang kekal selamanya… coba dengarkan petuah dari mereka semua kita hidup di dunia hanya sementara dan takan ada yang sanggup untuk tetapbertahan kecuali cinta dan persahabatan karena memang hidup kita akan menjadi lebih indah… semua karena cinta dan persahabatan… bukan Abay aja kan yang bisa main gitar? Gue juga bisaa Chaa. Cha makasih ya, lo udah balikin semua yang hilang dari diri gue. Gue jadi bisa bersosialisasi lagi. Gue sekarang punya lu, makasihh,” ucap Langit setelah selesai menyanyikan lagu dari The Rain.
            “Aku gak ngerti apa-apa Ngit.” Ucap Icha dingin karena masih tak percaya dengan apa yang sekarang ia lihat.
            “Gue ngerti banget lo itu penasaran sama kepribadian gue, lo tuh ingin bisa nemenin gue dikala gue lagi sendiri Cha.” Jelas Langit.
            “Kata siapa tuh?” Tanya Icha singkat.
            “Gue yang denger sendiri, setiap lo lagi ngomong sama temen sebangku lo itu selau kedengeran sama gue Chaa,” ucap Langit yang masih memegang gitar tua milik musisi jalanan yang ia sewa secara paksa.
            “Oke, aku ngerti Ngit.”
            “Jadiiii, yang waktu itu lo ngomong kalo lo itu sayang sama gue, maksudnya lo suka sama gue?” Tanya Langit serius sambil sedikit mencondongkan kepalanya untuk melihat mimic muka Icha lebih jelas.
            “Ohhhhh, itu salah paham Ngit. Gue sayang sama lo sebagai temen dan sekarang mungkin sebagai sahabat.”
            “Makasih Chaaaa, gue juga sayang sama lo. Makasih banget!” jawab Langit histeris.
            “Ya ampun ga kekira juga yah ternyata kamu ga mau diem juga orangnya.” Protes Icha.
            “Kan elo yang udah bisa ngerubah gue, dan sekarang gue adalah Langit yang selalu cerah dan tak pernak kelam, karenaa…” secepat kilat mulut langit sidah berisikan roti isi pisang yang membuat dirinya tak bisa menggerakkan mulutnya.
            Karena cinta dan persahabatann…” Icha bersenandung di depan Langit yang mulutnya masih penuh dengan roti isi pisang dan tersenyum karena misinya telah berhasil karena cinta dan persahabatan.
            Dan akhirnya Langit bisa mengubah dirinya menjadi secerah langit pagi. Dan takan pernah lagi menjelek-jelekan namanya sendiri. Dan Langit akan berusaha untuk membanggakan sahabanya yang sudah bisa mengubah hidupnya, Icha. Dan Langit mulai berusaha memberikan perhatiannya kepada Abay dan kedua orang tuanya.
TAMAT.
@ditaeyang

No comments:

Post a Comment